Selasa, 18 Januari 2011

Marginalisasi Adat

PEREMPUAN DAWAN DALAM PASUNG ADAT SIFON

Oleh: Titik Kristinawati,S.Pd.I,MA

I. PENDAHULUAN

Judul paper ini menggunakan istilah pasung untuk menggambarkan kondisi perempuan dawan yang tidak mampu membela dirinya sendiri. Lebih-lebih berfikir tentang membangun kesadaran kritis, untuk berkata “tidak” pada apa yang tidak dikehendakinya saja mereka tidak berdaya. Ketidakadilan dialami perempuan dawan dalam tradisi dan bahasa adatnya sendiri. Beberapa tradisi suku Dawan yang bias gender diantaranya adalah sifon yang menjadi pokok persoalan dalam tulisan ini. Sifon adalah sunat yang dilakukan laki-laki dewasa yang telah menikah dan memiliki anak dengan tujuan untuk membersihkan diri dari pernyakit, bala dosa dan membangkitkan kembali keperkasaannya. Proses tradisi sifon melibatkan Ahelet (dukun sunat yang berjenis kelamin laki-laki), pasien sifon (laki-laki), dan sarana penyembuhan (perempuan). Sistem dalam sunat sifon memberi peluang suburnya budaya patriarkhi ( kekuasaan/ dominasi laki-laki).

Untuk memahami sejauh mana adanya ketidak-adilan gender dalam tradisi sifon dan bagaimana upaya penanggulangannya merupakan masalah yang akan dibahas dalam paper ini.

Penulis memang bukan perempuan dawan yang hidup dalam lingkungan adat dawan sejak kecil. Namun, penulis hidup dan tinggal diantara adat dawan sebagai peneliti pada awalnya, dan kemudian memutuskan hidup, tinggal dan mendedikasikan ilmu di lingkungan masyarakat dawan. Oleh karena itu, Cara pandang secara akademis yang digunakan penulis dalam konteks ini. Hal ini berangkat dari kegundahan atas rasa prihatin selama penulis hidup dilingkungan masyarakat adat dawan. Latar belakang ini perlu dijelaskan karena akan sangat berpengaruh pada sudut pandang dan penilaian tentang tradisi sifon,

Dalam kajian terhadap masalah ini penulis akan membagi atas 3 bagian, yaitu:

1.Budaya sifon sebagai kekuasaan kelas

2.Letak bias jender dalam tradisi sifon

3.Upaya mengatasi ketidakadilan gender dalam masyarakat dawan

Acuan analisa yang digunakan adalah teori politik Kultural yang dipengaruhi oleh Antonio Gramsci tentang hegemoni. Hegemoni melibatkan proses penciptaan makna dimana representasi dan praktik dominan-otoritatif diproduksi dan dipelihara.

II. PEMBAHASAN

1. Budaya sifon sebagai kekuasaan kelas

Praktek kebudayaan merupakan wujud dinamis suatu kelompok social tertentu yang mana kebudayaan tidak hanya menciptakan jaringan makna namun juga memperangkap anggotanya dalam pemaknaan yang diciptakan (Geertz, The Interpretation of Culture,1974). Dasar konseptual ini yang mungkin memperangkap kelompok masyarakat dawan atau biasa juga dikenal dengan sebutan suku Atoin Meto yang tinggal di Kabupaten TTS (Timor Tengah Selatan), TTU (Timor Tengah Utara) dan Kabupaten Belu provinsi NTT, sehingga masih melangsungkan sunat sifon. Sunat sifon merupakan sunat yang dilakukan laki-laki dewasa yang telah menikah dan memiliki anak dengan tujuan untuk membersihkan diri dari pernyakit, bala dosa dan membangkitkan kembali keperkasaannya.

Sunat sifon biasanya dilaksanakan pada musim panen. Seseorang yang hendak melakukan sunat sifon harus menyerahkan mahar (sejumlah uang, pernak-pernik, dan ayam) kepada dukun sunat atau ahelet. Selanjutnya, orang yang hendak melakukan sunat sifon akan diajak ke sungai untuk melakukan pengakuan bahwa dalam kesehariannya dia sudah terbiasa melakukan hubungan badan dengan wanita. Sunat sifon tidak akan dilaksanakan pada pria yang belum pernah melakukan hubungan seksual. Proses sunat sifon dilakukan dengan menggunakan sembilu atau pisau. Setelah proses penyunatan dilaksanakan, maka dibawah kembali ke sungai untuk dilakukan pembersihan.

Permasalahannya kemudian pada tahapan penyembuhannya, yakni dengan cara harus berhubungan seks dengan perempuan lain yang bukan istri dan anggota keluarganya. Perempuan yang dijadikan sarana penyembuhan sunat sifon disediakan oleh dukun sunat sendiri dengan tanpa disadari oleh perempuan tersebut bahwasanya dirinya menjadi korban. Pengaruh konstruksi budaya dan peran penokohan ahelet membangun pemahaman bahwasanya mereka yang rela melayani laki-laki yang sedang melakukan sifon akan mendapatkan berkah dari para leluhurnya karena telah bersedia menjadi silih bala dan penebus dosa orang lain. Perempuan korban sifon tidak mempertimbangkan dampak dari kesediaannya yang mana dia akan mengalami penderitaan fisik secara terus menerus.

Sunat sifon menjadi tradisi dalam kelompok masyarakat Atoin Meto. Laki-laki yang tidak melakukan sunat sifon akan menjadi bahan ejekan dan sindiran masyarakat dalam upacara adat. Sindiran dalam nyanyian pantun akan ditujukan pada seseorang yang tidak melakukan sifon. Tidak hanya nyanyian pantun, ejekan dalam bentuk prilaku simbolik juga ditujukan, misalnya dengan mempersilahkan seorang laki-laki duduk diatas kulit kambing jika dia belum sunat sifon, dengan anggapan bahwa laki-laki yang belum sunat sifon, dia bau seperti kambing.

2. Politik Budaya Yang Bias Gender

Seringkali agama dan adat istiadat dijadikan sebagai legitimasi dalam memarginalkan peran dan fungsi perempuan. Perempuan dicitrakan dalam aturan adat untuk menerima peran pasifnya dan menerima dominasi laki-laki. Hal ini terjadi pada perempuan dawan (Atoin Meto) yang menjadi korban sunat sifon. Bagaimana perempuan secara adat dianggap mulia dan akan menerima berkah jika bersedia menjadi sarana penyembuh sunat sifon. Dalam konteks ini, budaya bersifat politis karena dia mengekspresikan relasi kekuasaan kelas dengan cara menaturalisasi tatanan social sebagai suatu fakta niscaya, sehingga mengaburkan relasi eksploitasi didalamnya (Barker,2000:53). Jadi budaya sifon pada wilayah suku Atoin Meto bersifat ideologis. Yang dimaksud dengan ideologi dalam hal ini adalah bahwasanya legitimasi adat yang menyatakan membuang panas bagi laki-laki dan hanya perempuan yang dapat mendinginkan hanyalah pemahaman spesifik disuatu ruang dan waktu tertentu (bersifat historis) untuk melanggengkan kekuasaan (ide-ide kelas berkuasa-ahelet dan pasien sifon- yang notabene mereka adalah laki-laki). Menjadi sangat fatal ketika ide-ide tersebut dipahami sebagai kebenaran universal.

Meyakini tradisi dan kebiasaan sebagaimana yang terjadi pada perempuan dawan merupakan salah satu sumber proses marginalisasi yang mengakibatkan pemiskinan pada perempuan. Marginalisasi pada perempuan tidak saja terjadi pada ruang publik, akan tetapi pada ruang domestik juga seperti rumah tangga, dan masyarakat atau kultur. Marginalisasi sering kali diperkuat oleh adat istiadat dan tafsir agama (Fakih,2001:14-15). Sehingga perempuan yang masih kuat memegang teguh adat istiadat dan tinggal dilingkungan masyarakat adat tidak jarang mengalami tingkat marginalisasi lebih besar. Karena, perempuan tersebut sebagian besar adalah masyarakat miskin yang tinggal didaerah terpencil dan di nomor duakan dalam tingkat mengakses sumber daya alam.

3. Upaya Penanggulangan

Keadaan seperti ini yang menjadi keprihatinan dan menuntut kepedulian kita untuk mewujudkan relasi yang sehat antara laki-laki dan perempuan. Relasi yang adil untuk menciptakan sikap dan perilaku yang memiliki kesetaraan dalam relasi gender dan tanpa kekerasan serta kesadaran dan kemauan baik dari perempuan dan laki-laki untuk berjuang bersama demi adanya pengakuan akan hak-hak perempuan melalui berbagai upaya dalam semua aspek kehidupan. Mewujudkan pendampingan dan pelayanan perempuan pada level pemahaman akan meningkatkan pengetahuan, wawasan, dan kesadaran baik laki-laki maupun perempuan tentang isu hak asasi manusia, kesehatan reproduksi, kekerasan terhadap perempuan dan gender serta memberikan pengetahuan akan cara mengakses berbagai informasi program pembangunan dan posisi strategis baik dalam lembaga formal maupun non formal.

Upaya pendampingan dengan cara membangun pemahaman perempuan (capacity building) akan menjadikan perempuan lebih kritis dalam menganalisa setiap persoalan meskipun itu terkait dengan adat istiadat didaerahnya bahkan agama sekalipun. Oleh karena itu, untuk memperjuangkan pembebasan perempuan dawan sangatlah penting untuk mencari solusi atau upaya yang dapat mengatasi ketidakadilan gender pada perempuan dawan, antara lain melalui adat, pemerintah maupun institusi agama.

a) Melalui Jalur Budaya:adat

Upaya yang hendaknya diperjuangkan oleh lembaga adat untuk membebaskan perempuan dawan dari keterkungkungan budaya, antara lain: Pertama, budaya sifon hendaknya ditinjau kembali dari beberapa sisi yang mungkin diakibatkannya, baik positif maupun negatifnya. Memutuskan dan harus berani menetapkan konsekunsi hukuman adat jika memang efek negatif yang ditimbulkan jauh lebih besar daripada efek positifnya. Budaya sifon harus dikembalikan pada makna aslinya yakni sebagai penebus dosa dan tolak bala, bukan keperkasaan, sehingga harus menjadikan perempuan sebagai sarana penyembuhan. Kedua, Kaum perempuan hendaknya berani bekerjasama dengan para pemuka adat untuk merekonstruksi kembali adatnya, artinya mengembalikan budaya sifon pada nilai budaya yang sesungguhnya yang tidak melibatkan perempuan sebagai objek seksual, namun berusaha menumbuhkan pemahaman akan kesetaraan dan saling menghargai diantara laki-laki dan perempuan. Dengan menjunjung tinggi kesetaraan, maka upaya penyembuhan sifon dapat dikembalikan pada pola penyembuhan secara alamiah yakni dengan menggunakan ramuan alam sebagaimana mestinya. Perempuan dawan harus diberi tempat dalam struktur adat agar saran dan keluhan mereka di dengar dan dipertimbangkan. Ketiga, Para tua adat hendaknya mengambil peran tegas atas fungsinya, yang tidak hanya sebagai pemimpin masyarakat adat namun juga orang tua yang selalu siap membantu semua anggota sukunya tanpa memandang jenis kelamin dan kepentingan pihak tertentu, sehingga menghindari dari tindakan mendeskriditkan perempuan, dan menghilangkan percaya diri perempuan dawan. Keempat, Adat dawan hendaknya direkonstruktif terkait simbol bahasa yang bermakna perempuan, seperti Ni Ainaf (tiang induk, mama), fe/fel (istri),uem tuaf (tuan rumah, pengatur rumah tangga), feot Nai (ratu), Hausufa/fula (bunga) yakni pada esensinya perempuan juga menjadi makhluk yang memiliki bergaining position dalam bahasa adat. Kelima, adat harus menanamkan budaya dalam diri setiap anggota sukunya mengenai sikap saling menghargai dan menghormati siapapun tanpa memandang jenis kelamin.

b) Melalui jalur pemerintah daerah

Upaya yang hendaknya dilakukan pemerintah untuk membebaskan perempuan dawan dari sempitnya memaknai adat dan ketertindasannya karena ada bertujuan agar perempuan dawan mampu membangun kesadarannya sendiri dan mengadvokasi dirinya. Upaya tersebut antara lain: Pertama, Pemerintah harus bekerjasama dengan tokoh adat, stakeholder, LSM dan gereja (sebagai tempat ibadah dari mayoritas agama yang dianut suku dawan) dalam upaya pemberdayaan perempuan dawan melalui pelatihan-pelatihan baik yang membangun skillnya maupun kognitifnya. Pemerintah dalam hal ini bagian pemberdayaan perempuan yang ada di setiap kabupaten harus memiliki program-program yang aktif melibatkan perempuan. Hal ini dikarenakan perempuan dawan cenderung tidak percaya diri akibat pola budaya mendidik mereka. Kedua, pemerintah harus memberikan kesempatan yang sama untuk perempuan memperoleh pendidikan baik formal, nonformal, dan informal. Ketiga, pemerintah memberikan penyuluhan dan pelayanan kesehatan bagi perempuan maupun laki-laki, agar mereka dapat memilih dan menentukan sikap bahwasanya budaya sifon masih sesuai ataukah tidak diera saat ini jika dilihat dari dampak yang ditimbulkan pada perempuan yang menjadi korban sifon, maupun istri dari laki-laki yang melakukan sifon. Keempat, pemerintah perlu mengalokasikan dana secukupnya untuk pemberdayaan perempuan dawan, khususnya mereka yang telah memiliki kelompok-kelompok kecil di daerah terpencil. Meskipun kelompok kecil tersebut kelompok ibadah para ibu maupun bapak. Karena pemahaman akan kesetaraan harus dibangun tidak hanya pada perempuan, namun juga pemahaman laki-laki akan hak-hak perempuan. Kelima, perlunya pemerintah melakukan kombinasi antara studi, investigasi, analisis sosial pendidikan serta aksi pada budaya sifon. Ini bertujuan untuk memastikan signifikansi atau tidaknya budaya sifon baik untuk penebusan dosa dan tolak bala sekalipun.

c) Melalui jalur agama

Gereja diutus untuk membebaskan yang tertindas dan memberi harapan bagi yang putus asa, demikian pula agama islam juga mengajarkan dalam al qur’an pada dasarnya kedudukan laki-laki dan perempuan sama. Keduanya diciptakan dari satu nafs (living entity), dimana yang satu tidak memiliki keunggulan terhadap yang lain.

Agama Kristen sebagai agama mayoritas di NTT, seharusnya turut ambil andil dalam upaya membangun kesadaran kristis perempuan dawan, misalnya dengan: Pertama, membuat program untuk kelompok-kelompok ibadah dengan kegiatan yang tidak hanya seputar agama, namun proses pengembangan diri baik industry buat rumah tangga maupun pelatihan-pelatihan yang membangun kesadaran kristis atas peran perempuan. Kedua, melibatkan perempuan secara aktif dalam kegiatan-kegiatan keagamaan tidak sebgai pekerja tapi juga konseptor. Ketiga, gereja seharusnya sering mengambil tema kegiatan tentang pemberdayaan dalam kaitannya dengan aturan adat dan struktur adat, agar tokoh adat menyadari esensi perannya. Keempat, mengkaji kembali tafsir agama untuk mengakhiri bias gender dan dominasi dalam penafsirannya.

III. PENUTUP

Dari paparan di atas akan dirumuskan simpulan sebagai berikut:

1. Adat sifon yang dilakukan masyarakat adat dawan di daerah Kabupaten TTS,TTU, dan Belu memang bias gender. Perempuan menjadi korban kuasa laki-laki yang dilegitimasi oleh adat. Adat menjadi alat kekuasaan untuk menamai perilaku laki-laki, selain itu adat juga digunakan sebagai alat representasi pendapat laki-laki yang dianggap dapat membenarkan kuasa laki-laki atas perempuan. Laki-laki (ahelet, tokoh adat dan pasien sifon) tidak mempertimbangkan dampak kesehatan reproduksi perempuan. Sumber daya kultural seolah-olah hanya menjadi milik laki-laki. Laki-laki yang dapat dengan leluasa membentuk dan memiliki akses kedalam.

2. Adanya bias gender dalam adat sifon, secara teoritis memberi peluang subur kekuasaan laki-laki dan memberi dasar yang kuat pada politik kultural. Tapi untuk tataran praktek belum memiliki data banyak terkait siapa saja yang pernah terlibat baik sebagai pelaku sifon ataupun korban sifon, pun juga siapa yang akan melakukan sifon pada musim panen mendatang. Hal ini dikarenakan sunat sifon tidak sampai muncul ke wilayah publik, tersimpan rapi dalam lingkungan domestik. Ini harus diteliti dengan melibatkan pihak struktur adat, pemerintah sebagai penyuluh, dan pemahaman pada perempuan atas dampak lebih besar yang akan ditimbulkan.

3. Upaya untuk menanggulangi ketidakadilan gender dalam kehidupan masyarakat adat dawan adalah dengan perubahan prilaku; baik dalam keluarga, lingkungan sosial dan lingkungan pemerintahan untuk lebih memberdayakan perempuan, sehingga membantu para perempuan lebih mandiri baik dari segi moral psikologis, ekonomi, pendidikan, politik, dan merekonstruktif budaya agar menghasilkan budaya baru yang sensitif gender. Karena hanya dengan kemandirian perempuan dalam semua aspek kehidupan akan tercapai keadilan gender.

Jumat, 11 Juli 2008

ಬಂಗ್ಕಿತ್ನ್ಯ ಮಸ್ಯರಕತ್ Adat

Proses marginalisasi yang dialami oleh masyarakat adat bukanlah sesuatu yang sifatnya kebetulan dan muncul dari dirinya sendiri. Proses panjang penderitaan dan ketidakadilan yang mereka alami akan sangat mungkin terakumulasi dan memunculkan perlawanan. Aksi perlawanan yang halus maupun radikal dan berbagai bentuk protes yang akhir-akhir ini dilakukan masyarakat adat dalam berbagai isu menjadi satu tanda atas akumulasi pemarginalisasian dan ketidakadilan yang mereka alami selama ini. Dalam kondisi demikian, budaya sering mereka jadikan sebagai spirit perjuangan dan perlawanan, meski disisi lain terkadang budaya juga sekaligus dimanfaatkan oleh pihak lawan untuk melindungi kepentingannya.
Sejarah perkembangan masyarakat dari yang komunal dan tertutup menjadi kapitalisme yang terbuka dan individual merupakan proses dialektika tersendiri. Dialektika yang akan memunculkan tanggapan yang majemuk dari masyarakat. Tanggapan yang sangat mungkin menimbulkan penolakan maupun penerimaan. Akan tetapi kenyataan pengalaman penderitaan masyarakat adat telah menumbuhkan benih gerakan masyarakat adat. Pertanyaannya kemudian, Apakah upaya masyarakat adat di Indonesia telah dapat dipandang sebagai gerakan sosial atau tidak?. Prasyarat dan tahapan apa saja yang harus dipenuhi dan dilewati agar dapat melewati tahapan menjadi sebuah gerakan yang efektif dan mendorong perubahan sebagaimana yang dicita-citakan?
Contoh kasus dari hantaran diatas adalah gerakan perlawanan masyarakat adat Atoni Meto dalam kasus penambangan marmer di gunung Mutis. Gunung tempat mereka melakukan ritual Tasaeb banu-suatu ritual yang diaplikasikan untuk menjaga kelestarian hutan dan debet air- saat ini sedang ditambang oleh PT.Karya Asta Alam. Selain itu, di gunung tersebut juga masyarakat Atoni Meto biasa melaksanakan pemujaan terhadap leluhurnya. Akibat dari penambangan marmer di gunung Mutis, perekonomian kolektif mereka juga ikut hancur bersama hancurnya adat istiadat mereka. Kuatnya simpul kekerabatan yang selalu mereka bangun melalui budaya Okomama, yakni budaya mengunyah sirih pinang sebagai simbol untuk mempererat hubungan kekerabatan antar suku maupun sedarah dan juga simbol penerimaan atas orang asing yang datang sebagai tamu telah memperkuat simpul gerakan mereka selama 11 tahun tepatnya sejak 1997 hingga hari ini.

I. Masyarakat Adat Atoni Meto Mengkonstruksi Identitas Sebagai Basis Kekuatan Tindakan Kolektif
Mengapa individu-individu mau bergabung dan melakukan gerakan perlawanan? Mengapa kita mau ikut dalam pengambilan suara? Singkatnya apa yang mendorong kita untuk terlibat dalam tindakan kolektif?. Di balik enigma ini, ada teori yang mungkin dapat digunakan untuk menjelaskannya, yakni : bisa jadi karena sedang mencari identitas dan pengakuan orang lain secara permanen. Untuk memahami hal ini kita harus berada pada dua tataran konstruksi identitas: yaitu tataran identitas personal dan tataran identitas kolektif. Apa sebenarnya identitas? Apakah identitas itu adalah sesuatu yang telah ada dalam diri masyarakat Atoni Meto dalam hal ini, atau Identitas itu sesuatu yang sedang ingin dicari dan diciptakan melalui gerakan perlawanan oleh masyarakat Atoni Meto?. Bagi Pirandello identitas didefinisikan justru oleh orang lain diluar kita, atau lebih pada pengakuan yang diberikan orang lain mengenai diri kita (Giddens,dkk.2004:175). Diantara sekian bukti paling penting dalam pencitraan identitas masyarakat Atoni Meto misalnya, gerakan mereka menjadi kuat dalam durasi 11 tahun adalah karena mereka mengidentifikasi diri sebagai masyarakat adat Atoni Meto yang terkenal sebagai masyarakat paling besar di wilayah Timor Barat propinsi Nusa Tenggara Timur. Masyarakat Atoni Meto juga dikenal sebagai masyarakat ritual karena hampir setiap kegiatan hidup sehari-hari mereka mulai dengan ritual-ritual tertentu. Kekayaan ritual yang mereka miliki inilah yang menjadi simbol permanensi pengakuan tidak hanya bagi orang Atoni sendiri tetapi juga bagi orang lain diluar komunitas masyarakat Atoni Meto.
Dari sini, kita dapat menoleh sejenak bagaimana Hegel sebagai orang pertama yang memperkenalkan istilah pengakuan sebagai satu inti untuk menjelaskan fenomena masyarakat dan mengoposisikannya dengan istilah kontrak sosial. Perjuangan masyarakat Atoni Meto untuk mendapatkan pengakuan atas gunung Mutis tempat dimana mereka melakukan basis perekonomian kolektifnya, bisa juga menjadi faktor munculnya gerakan perlawanan pada korporasi yang menambang marmer di gunung tersebut. Namun hal yang perlu diingat, pengakuan juga tidak terjadi begitu saja. Unsur pemaksaan menjadi warna tersendiri untuk diakui dan didefinisikan seperti apa sesungguhnya orang Atoni, dan memaksa korporasi atau aktor gerakan diluar Masyarakat Atoni Meto untuk mengakui bagaimana orang Atoni mendefinisikan dirinya melalui gerakannya dengan menggunakan kekuatan simbol budaya dan simbol ritusnya.
Ini merupakan proses dialektika tanpa akhir yang mempertautkan masyarakat Atoni Meto dalam hubungan yang tidak bisa dibubarkan oleh orang lain, dan akan terus berlanjut sebagaimana yang sulit didamaikan pada diri internal kita sendiri. Bahkan kesunyian yang tidak akan bisa membebaskan kita. Bahkan biarawan yang mengasingkan diri, atau pertapa saja harus terus berjuang untuk diakui oleh Tuhannya. Ini merupakan perjuangan yang akan dimenangkan oleh mereka yang memiliki keberanian untuk mengambil resiko, dengan menganulir hubungan tertutup dan mengajukan hubungan lain sebagai alternatif. Inilah hubungan sosial yang akan menciptakan sebuah lingkaran pengakuan baru.
Dalam tulisan yang berbeda, identitas di bedakan menjadi 2 yakni identitas diri adalah konsepsi yang kita yakini tentang diri kita dan identitas sosial adalah suatu harapan dan pendapat orang lain yang membentuk kita (Barker, 2004:173). Identitas juga dapat dikatakan sebagai produk budaya yang spesifik dan tidak abadi. Jadi, identitas sepenuhnya adalah kontruksi sosial dan tidak mungkin eksis diluar representasi budaya. Kita memandang identitas diekspresikan melalui berbagai bentuk upaya yang dapat dikenali oleh orang lain dan diri kita sendiri. Identitas dalam pengertian harfiah bisa didefinisikan sebagai ciri-ciri atau tanda-tanda, jati diri yang melekat pada seseorang atau sekelompok orang yang membedakannya dari yang lain, sehingga mampu menggambarkan watak dan karakteristik yang ada (Maulani, 2007). Identitas dikemas sedemikian dan kemudian dijadikan sebagai basis kekuatan dalam gerakan perlawanan orang Atoni Meto. Inilah kemudian yang dinamai sebagai bentuk politik identitas. Selain dari pola gerakan, kita juga dapat memaknai identitas mereka dari simbol yang digunakan dalam perlawanan, kepercayaan, sikap dan gaya hidup.
Sementara menurut Eric Hobsbawm identitas kolektif-yang cenderung berkonotasi negatif- berarti sesuatu yang berlawanan dengan yang lain . Dengan kalimat lain, identitas kolektif tidak mesti berangkat dari ciri yang sama. Namun identitas kolektif juga dapat dikatakan hal yang menyatukan kita sebagai satu kelompok dan sekaligus membedakan kita dengan kelompok lain. Dan jika dilihat dari segi kultur-politis, maka mengkombinasikan identitas kultural dengan identitas politik bukanlah merupakan satu permasalahan. Justru sebaliknya, terkadang hal ini dapat digunakan sebagai jalan keluar.
Menurut Giddens, identitas kolektif yang digunakan masyarakat adat Atoni Meto sebagai simpul gerakan hanyalah proyek yang sengaja diciptakan berdasarkan sudut situasi dimasa lalu dan masa kini untuk mencapai apa yang mereka pikirkan dan mereka inginkan menjadi harapan yang nyata, yakni penghentian penambangan marmer dan upaya revitalisasi budaya mereka.
Terkait dengan perbincangan mengenai bagaimana hubungan identitas dan gerakan sosial masyarakat adat Atoni Meto, Touraine berpendapat bahwa suatu gerakan sosial ada karena 3 unsur pembentuk, yakni: ada identitas bersama, pihak yang menjadi oposisi, dan sesuatu yang dipertaruhkan, yang berupa objek milik bersama yang diperebutkan didalam konflik antara gerakan dan oponen (Beilharz,2002:145).
Gagasan Touraine mengenai gerakan sosial adalah sebagai kombinasi dari prinsip identitas, prinsip oposisi, dan prinsip totalitas, dimana aktor-aktor sosial mengidentifikasi diri mereka , lawan mereka secara sosial, dan tingkatan –tingkatan dalam sebuah konflik. Gerakan sosial baru muncul dalam konteks adanya core konflik baru dalam masyarakat post-industri kontemporer. Bagi Touraine kombinasi tersebut ataupun juga proses ” formasi identitas” dapat di deteksi pada setiap aspek dari perilaku sosial, tetapi gerakan sosial harus dibedakan sejauh isunya mencapai tingkat tertentu yang dapat dirujuk secara historis, lebih dari sekedar keputusan –keputusan institusional atau norma-norma organisasional yang ada dalam masyarakat.
Lebih lanjut, Touraine juga mendefinsikan bahwasanya ”gerakan sosial baru adalah gerakan sejumlah warga masyarakat yang secara budaya terlibat dalam konflik sosial, yang tujuan dan strateginya memiliki pertalian sosial dan rasionalitas sendiri”. Dia menjelaskan tiga hal pokok yang tercakup dalam gerakan sosial baru. Pertama,disebut baru, karena secara kualitatif berbeda dengan gerakan sosial lama yang memiliki perhatian pada keadilan ekonomi dan sosial politik. Kedua, gerakan ini berkaitan erat dengan isu sosial. Ketiga, gerakan ini berawal dari kelompok perorangan tetapi membentuk unsur gerakan yang lebih besar (Singh,2001:87).
Berbeda dengan Touraine, Laclau mengatakan gerakan sosial harus mampu membangun revolusi demokratik yang bersifat populis, yang dapat mengakomodir tuntutan berbagai macam kelompok, seperti: gerakan etnis, gerakan regional, gerakan kaum minoritas, gerakan anti rasis. Laclau dalam konsep artikulasinya berpendapat berbagai aspek kehidupan sosial seperti identitas, yang kita pandang menyatu dan abadi dapat dianggap sebagai stabilitsasi temporer yang khas secara historis atau pengungkapan makna secara arbitrer.
II. Masyarakat Atoni Meto Merengkuh Identitasnya Dalam Kondisi Sub Kultur Dan Bertahan Di Tengah Budaya Global.

Jika pada tahun 1985, Gayatri Spivak bertanya” Dapatkah sub altern berbicara?”. Hal itu dikarenakan telah terjadi kebutaan ras dan klas diruang akademik barat. Yang dimaksud oleh Spivak dengan subaltern adalah subjek yang tertekan (Gandhi,2001:1). Sebagaimana yang saya maksud subaltern dalam makalah ini adalah masyarakat Atoni Meto. Subalternitas masyarakat Atoni Meto juga disebabkan oleh kondisi pen- sub kultur-an yang panjang yang mereka alami.
Namun sejak 1997 kesadaran akan pentingnya wawasan identitas orang Atoni Meto terhadap lingkungan budaya mulai muncul. Mereka mulai berfikir pentingnya identitas yang bersumber dari kebudayaan lokal sebagai ketahanan sosial bagi mereka. The within forces senantiasa mereka gunakan sebagai identitas yang terus digulirkan sebagai bentuk resistensi sekaligus reaksi atas kekuatan-kekuatan dari luar. Yang dimaksud the within forces dalam hal ini adalah sikap mental, nilai hidup, cara berfikir, cara merasa, cara bertindak, cara bekerja, logika, estetika, dan etika dimana itu semua telah ada dalam budaya mereka seperti halnya budaya Okomama, budaya Tasaeb Banu, budaya Naketi (budaya pengakuan dosa) dan masih banyak lagi budaya yang telah mengatur kehidupan mereka sehari-hari.
Gerakan lokal mereka disatu sisi dapat dimaknai etnosentris. Namun setidaknya hal ini membuktikan adanya kesadaran pribadi orang Atoni Meto yang berada diluar daerah untuk mengakui dan menciptakan kebanggaan terhadap nilai lokal yang bersumber dari kebudayaan mereka. Dalam tatanan internal masyarakat Atoni sendiri, geliat kesadaran akan identitas dapat dilihat pada dinamika gerakan mereka selama 11 tahun. Mereka menggunakan aspek kebudayaan sebagai mainstream gerakan. Karena dari sinilah terjadi semacam upaya menggalang kekuatan untuk mengukuhkan diri sebagai sebuah bangsa yang memiliki karakter yang dibangun oleh budaya lokal. Sebagai komunitas yang memiliki prilaku dan kepercayaan yang berbeda dengan budaya Timor secara luas, Orang Atoni kaya ritual dalam kehidupan keseharian mereka dibanding masyarakat pada umumnya.
Perjuangan mewujudkan kembali identitas masyarakat Atoni Meto memang layak dilakukan. Hal ini mengingat dalam perjalanannya kultur Atoni Meto sejak lama senantiasa berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Pada masa kejayaan kerajaan (jawa ), kebudayaan Atoni Meto lebih berada di posisi sub ordinasi. Dan pada masa orde lama dengan legitimasi UU No.69/1958 struktur pemerintahan adat yang ada diubah menjadi ”Desa Gaya Baru”, dan pada masa orde baru dengan dikeluarkannya UU No.5/1979 yang sentralistik masyarakat Atoni Meto berada pada sub kultur budaya Jawa (Jawanisasi). Struktur pemerintahan yang dulunya Fetor diubah menjadi menjadi Desa. Masyarakat Atoni Meto yang ikatannya didasarkan pada faktor genealogi (marga) , tiba-tiba harus dipisah dan disatukan dengan marga-marga lain dalam satu wilayah yang disebut desa. Tersingkirnya para tokoh adat oleh struktur formal lewat aparat yang telah ditetapkan dan dibentuk oleh pemerintah merupakan kelanjutan masalah dari sistem sentralistik yang bagi mereka adalah representasi Jawa atau orang Atoni Meto menyebutnya Jawanisasi.
Ketika kekuasaan adat semakin melemah, pengaruh asing yang datang melalui era modernisasi semakin membuat mereka semakin determinan. Belum lagi pengaruh pasar bebas, dan industrialisasi juga semakin menghancurkan sistem perekonomian berbasis kolektif mereka. Kasus penambangan marmer di gunung Mutis menjadi tanda atas hancurnya budaya, politik, sosial dan ekonomi mereka. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ninok Leksono, ditengah kepungan perubahan global terdapat beberapa hal yang akan mempengaruhi kita, yakni: (1) pengaruh sosial politik, (2) pengaruh ekonomi, (3) pengaruh teknologi, (4) pengaruh globalisasi (Leksono,2000). Keempat macam pengaruh tersebut juga terjadi pada masyarakat Atoni Meto dan terbukti mampu merubah tatanan kehidupan mereka, yakni dari masyarakat yang tidak kritis pada sistem sosial menjadi kritis dan bahkan berani melakukan perlawanan.
Modernisasi dan industrialisasi yang merambah hampir di segala bidang kehidupan, memang merupakan persoalan tersendiri bagi identitas kebudayaan. Pada era ini banyak orang berfikir tentang usaha melepaskan diri dari pola kehidupan tradisional yang mereka anggap ketinggalan jaman. Kondisi demikian terutama terjadi pada kalangan masyarakat terpelajar yang bermukim di daerah perkotaan. Kalangan anak muda berfikir bahwa kebudayaan tradisional tidak lagi sesuai untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Kaum muda lebih merasa cocok berperilaku dan berpenampilan kebarat-baratan dan malu mengkonsumsi hal-hal yang bernuansa tradisional.
Industrialisasi kekayaan lokal, bisa jadi gerbang awal modernisasi. Jika dibiarkan, bangsa ini akan kehilangan ragam kesukuannya. 10 tahun yang akan datang, akan sangat biasa masyarakat adat Atoni Meto tidak lagi mematuhi adat istiadat, dan menjalankan ritual-ritual adatnya. Dan akan sangat memungkinkan penambangan marmer adalah awal dari prediksi 10 tahun kedepan.
Modernisasi dan globalisasi selain disambut dengan penuh optimis dan suka cita oleh beberapa pihak, juga menjadi ancaman baru bagi kearifan lokal. Karena globalisasi dan modernisasi akan sangat dengan mudah menyingkirkan budaya lokal yang telah dipertahankan puluhan tahun bahkan ribuan tahun. Selain itu juga akan mendikte dan menaklukan budaya lokal untuk diseragamkan sesuai dengan kepentingan ideologis. Horkheimer dan Adorno mengemukakannya istilah industri kebudayaan ( Lubis,2004:110). Industri kebudayaan memiliki fungsi melegitimasi ideologi masyarakat kapitalis yang ada dan mengintegrasikan individu kedalam kerangka kerja formasi sosial. Geertz ( dalam Mohamad, 2005: 259) menyebut gejala ini sebagai ”pembukuan ganda” dalam hal moral. Selanjutnya Mohamad menuliskan: dengan itu geertz berbicara tentang suatu simptom, sebuah tendensi yang umum terjadi di masyarakat-masyarakat yang sedang berkonfrontasi dengan ”kebudayaan modern”.
Dalam kehidupan masyarakat ”Subkultur” identitas merupakan masalah penting yang memang harus mendapatkan perhatian , karena dari sinilah pengakuan bagi kelompok subkultur bisa didapatkan, baik sekedar pengakuan bahwa mereka bagian dari kelompok dominan ataupun pemenuhan hak-hak mereka untuk bisa berekspresi secara bebas. Dalam masyarakat plural biasanya ketimpangan struktural bisa terjadi ketika identitas satu kelompok lebih bersifat mencolok (salient) dibanding kelompok lain. Ketika kelompok dominan lebih bisa menampilkan diri sementara kelompok minoritas hanya dipandang sebagai objek pelengkap.
Akhir-akhir ini perbincangan tentang identitas menjadi topik yang booming. Kemungkinan, hal ini terjadi karena permasalahan identitas etnitas lebih rawan terhadap konflik ketika terjadi ketimpangan struktural dalam masyarakat. Untuk itu diperlukan strategi tersendiri untuk mengelola agar persoalan identitas etnisitas tidak menjadi sumber konflik. Harus diakui bahwa kelompok etnis yang dominan tetap saja akan ada dan tidak bisa dihindarkan, namun persoalannya adalah bagaimana budaya dominan itu bisa mewakili kepentingan dan kebutuhan kelompok yang pada posisi subkultur. Pada prinsipnya setidaknya ada lima formula pembentukan budaya dominan yaitu pertama, Asilimasi adalah proses di mana budaya yang dianut oleh kelompok dominan menjadi satu-satunya budaya – yang lain hilang atau lebur di dalamnya. Kedua, Akulturasi, budaya yang dianut oleh kelompok pada posisi subkultur atau kaum lemah tidak hilang. Akan tetapi, budaya-budaya itu secara signifikan kehilangan pengaruh, karena telah disesuaikan dengan budaya kelompok dominan. Ketiga, Pluralisme terbatas adalah proses di mana setiap budaya tetap dipertahankan sebagaimana adanya – tidak ada yang dihilangkan, dilebur, atau dimodifikasi. Ide dasar dari pluralisme terbatas adalah bahwa setiap budaya sama pentingnya serta memiliki hak hidup dan berkembang yang sama, sehingga perlu dilestarikan apa adanya. Keempat, Pluralisme dan multikulturalisme yang memandang budaya sebagai sesuatu yang dinamis. Karenanya, pelestarian bukan berarti mempertahankan budaya apa adanya. Dalam kacamata pluralisme dan multikulturalisme, pelestarian yang baik justru harus mendorong percampuran dan pengayaan antarbudaya, tanpa ada yang dihilangkan atau disubordinasi. Dan kelima, Amalgamasi berarti meleburnya semua budaya, baik yang dianut kelompok dominan maupun kelompok pada posisi subkultur guna membentuk budaya yang baru.
Berkaitan dengan kelas dominan dan “sub-altern” atau saya dalam hal ini menggunakan subkultur sebagai akibat dari subaltern dalam study post_kolonial Homi Babha dan Gayatri Spivak (1994) mengembangkan apa yang disebut dengan “Budaya Hibrid ” dimana kelompok subkultur juga bisa pertahan dengan unsur budaya hibrid, yaitu dua budaya yang berbeda tidak beralih menjadi satu wujud baru, tapi juga melahirkan bentuk-bentuk resistensi baru dan bentuk-bentuk negoisasi baru. Dalam hal ini budaya dari kelompok dominan tidak bisa sepenuhnya memaksakan kehendaknya pada yang subkultur, karena relasi kekuasaan didalamnya lebih bersifat dinamis dalam pertahanan budaya kelompok subkultur. Menurutnya Streotipe kolonial dalam konteks persebaran otoritas imperial pertahanan identitas etnisitas seolah-olah merupakan hasil konstruksi yang dijadikan bersifat alamiah, sehingga pada akhirnya akan melahirkan sistem ‘agensi baru’ yang juga memungkinkan yang mustahil menjadi niscaya pada saat kapan kelompok-kelompok subkultur menggunakan dan mempertahankan identitas dengan melakukan perlawanan terhadap penduduk yang dominan yang menginginkan perubahan struktur dan melahirkan ketimpangan lokal.
Segala kemungkinan beberapa tahun mendatang akan sangat mungkin terjadi. Tidak hanya peleburan budaya dengan 5 pola yang tersebut diatas, namun bisa sangat terjadi budaya dan tradisi masyarakat adat Atoni Meto akan benar-benar tak terkenang karena sebuah awal yang bernama “Penambangan Marmer”. Oleh karena itu, Perjuangan apapun bentuknya akan terus berlanjut.

Selasa, 29 April 2008

Aufklarung

Menelusuri Eksistensi Teori Kritis
Review buku dilema usaha manusia rasional
Oleh: Hersince Kristina Yosephania

Aufklarung demikian masa itu diberi nama. Masa dimana manusia mempertuhankan akal budinya diatas segalanya.Masa dimana manusia berusaha keluar dari kuasa diluar pengetahuan “mitos/takhayul”.Maka tidaklah mengherankan jika kemudian timbul pemberontakan-pemberontakan pada bidang ilmu pengetahuan termasuk filsafat.Akal budi mereposisi atas perannya yang selama ini hanya sekedar obyek untuk mengambil andil pula sebagai subyek.Merunut akar pertuhanan akal budi,sebenarnya tidak hanya pada abad 18.Lebih jauh dari masa itu yakni 2500 tahun yang lalu ketika manusia mencoba mencapai pengertian atas dirinya juga mulai ada rintisan atas mempertuhan akal budi.Karena pada esensinya manusia memang makhluk rasional.Statement inilah yang kemudian menjadi cikal bakal “horkheimer” berfikir agar bagaimana manusia mencapai kesadaran rasionalitasnya dan meninggalkan keirasionalitasannya dengan berfikir atas dirinya sendiri dan kemudian geliat fikir horkheimer inilah yang menjadi rintisan atas teori kritisnya.Teori kritis pun lahir atas kegagalan teori tradisionalnya Deskartes yang tidak mampu mencurigai dan mengkritisi perkembangan masyarakat sebagaimana harapan horkheimer.Teori tradisional memang terlalu mengeneralisasi pengetahuan.konsepnya yang umum tentang semua hal,terlalu sulit menjangkau kedalam persoalan dimasyarakat.Keberadaannya sebagai alat analisa untuk melihat fakta adalah secara obyektif dan lahiriah saja.sehingga ketajaman akan analisa persoalan tidak menelisik tajam.Sifat teori tradisional netral terhadap fakta diluar dirinya.dan cita-citanya universal systematic system.Kecenderungan teori tradisioanl lebih ideologis dimana kenetralannya justru menjadi kedok pelestarian keadaan yang ada,teori tradisional berfikir secara ahistoris,memisahkan antara teori dan praktis. Oleh sebab demikian Horkheimer beranggapan bahwa teori tradisional tidak mungkin menjadi teori emansipatoris.keberadaannya tak ubahnya seperti agama,dimana justru dalam kenetralannya,kerefleksifannya yang transendental ia justru membenarkan dan mendukung kondisi masyarakat yang tetap dalam kondisi keirrasionalitasannya.
Teori kritis ada untuk melepaskan masyarakat dari irrasionalitas tersebut.Teori yang dikembangkan untuk mencurigai dan mengkritisi masyarakat dan mengajak masyarakat untuk berfikir secara historis.Ekonomi masyarakat dengan mengambil fokus pada sistem nilai tukar adalah obyek kajian dalam teori kritis tersebut.Dimana kapitalisme liberal bergeser menjadi kapitalisme monopolis.Dan kritik ditujukan pada masyarakat yang mekanisme perekonomiaannya diatur oleh nilai tukar itu.Persoalannya kemudian,sejauh mana teori kritis mampu mempengaruhi kekuatan modal yang sangat dipertuhankan masyarakat saat teori kritis menjadi salah satu alat analisa dalam melihat masyarakat pada jaman ini?Selain itu juga terkait dengan persolan totalitas dalam teori kritisnya Horkheimer adalah bagaimana kekuatan berfikir yang kontradiktif dapat dijadikan sebagai kerangka berfikir. Teori kritis tidak bersedia menerima kategori –kategori perekonomian masyarakat,yakni:produktif,berguna,layak dan bernilai.yang menjadi kecurigaan lebih lanjut atas kategori tersebut adalah bahwasanya kategori tersebut telah ditentukan oleh golongan masyarakat tertentu,yakni pemilik modal.dewasa ini,kebanyakan orang remasuk para sarjana tidak mau lagi mempersoalkan atau memperdebatkan kategori produksi. Istilah masyarakat brengsek dan totalitas berulang-ulang digunakan oeh Horkheimer untuk menjelaskan kondisi dimana masyarakat bekerja tanpa dapat menikmati hasil dari pekarjaannya,mereka bekerja dengan digerakkan oleh kuasa modal diluar dirinya.demikian pula totalitas menjadi kata kunci untuk memahami teori kritis.Kelemahan dari totalitas adalah dia berjalan mekanis dan alamiah karena bentuk ekonomi dan budaya didalanya sudah tidak lagi dikuasai kehendak manusia sadar melainkan dikuasai modal.
Nuansa kontradiksi diciptakan sedemikian rupa dalam totalitas pada teori kritis ini.Termasuk pemaknaan atas konsep ego,jauh berbeda dengan teori tradisional dimana ego semata –mata kesadaran pada dirinya sendiri sehingga menganggap dirinya bebas padahal kebebasan dalam teori tradisional hanya pada tataran khayalan dan jauh dari kondisi masyarakat yang sebenarnya. Sementara konsep ego pada teori kritis adalah dimana ego bersifat materialis, yakni konsepnya didasarkan pada aktivitas individu yang dilaksanakan pada masyarakat historis(dimana totalitas dengan kerangka berfikir kontradiksi menghiasinya).
Horkheimer dalam mengutarakan konsepnya tentang teori kritis sangat kental dengan gaya berfikir hegelian-marxian.Dia menggunakan prinsip dialektikanya Hegel untuk memaknai situasi real dan untuk melihat masyarakat konkrit,ia menggunakan gaya berfikirnya Marx Marx muda sendiri sangat mengagumi pemikiran Hegel.Jadi jika untuk memahami gaya berfikir Hokheimer kita harus melirik Marx sementara untuk memahami marx sendiri kita tidak dapat menegasikan Hegel.Ada 3 unsur pemikiran hegel dalm filsafatnya ,yakni: pengetahuan absolut,filsafat sejarah dan negara,serta yang terakhir adalah dialektika sebagaimana Horkheimer gunakan pula sebagai unsur dalam teori kritisnya yang kemudia ia benturkan dengan pemikiran Marx tentang itu.Maka karena itulah ego berada dalam teori kritisnya pula,karena ego berada dalam ketegangan dialetika.Seperti Marx dalam kritik ideologi dimana ini menjadi cikal bakal teori kritis,Horkheimer juga menanyakan secara kritis fungsi ideologi dari kategori-kategori yang berlaku dalam masyarakat.Seperti Marx yang dalam kritik ekonomi politiknya yang mengideologi,Horkheimer juga menganalisa secara kritis masyarakat ekonomi jaman ini.Keprihatinan Horkheimer terhadap keirrasionalan masyarakat memang keprihatinan yang khas Marxian.

Kamis, 25 Oktober 2007