PEREMPUAN DAWAN DALAM PASUNG ADAT SIFON
Oleh: Titik Kristinawati,S.Pd.I,MA
I. PENDAHULUAN
Judul paper ini menggunakan istilah pasung untuk menggambarkan kondisi perempuan dawan yang tidak mampu membela dirinya sendiri. Lebih-lebih berfikir tentang membangun kesadaran kritis, untuk berkata “tidak” pada apa yang tidak dikehendakinya saja mereka tidak berdaya. Ketidakadilan dialami perempuan dawan dalam tradisi dan bahasa adatnya sendiri. Beberapa tradisi suku Dawan yang bias gender diantaranya adalah sifon yang menjadi pokok persoalan dalam tulisan ini. Sifon adalah sunat yang dilakukan laki-laki dewasa yang telah menikah dan memiliki anak dengan tujuan untuk membersihkan diri dari pernyakit, bala dosa dan membangkitkan kembali keperkasaannya. Proses tradisi sifon melibatkan Ahelet (dukun sunat yang berjenis kelamin laki-laki), pasien sifon (laki-laki), dan sarana penyembuhan (perempuan). Sistem dalam sunat sifon memberi peluang suburnya budaya patriarkhi ( kekuasaan/ dominasi laki-laki).
Untuk memahami sejauh mana adanya ketidak-adilan gender dalam tradisi sifon dan bagaimana upaya penanggulangannya merupakan masalah yang akan dibahas dalam paper ini.
Penulis memang bukan perempuan dawan yang hidup dalam lingkungan adat dawan sejak kecil. Namun, penulis hidup dan tinggal diantara adat dawan sebagai peneliti pada awalnya, dan kemudian memutuskan hidup, tinggal dan mendedikasikan ilmu di lingkungan masyarakat dawan. Oleh karena itu, Cara pandang secara akademis yang digunakan penulis dalam konteks ini. Hal ini berangkat dari kegundahan atas rasa prihatin selama penulis hidup dilingkungan masyarakat adat dawan. Latar belakang ini perlu dijelaskan karena akan sangat berpengaruh pada sudut pandang dan penilaian tentang tradisi sifon,
Dalam kajian terhadap masalah ini penulis akan membagi atas 3 bagian, yaitu:
1.Budaya sifon sebagai kekuasaan kelas
2.Letak bias jender dalam tradisi sifon
3.Upaya mengatasi ketidakadilan gender dalam masyarakat dawan
Acuan analisa yang digunakan adalah teori politik Kultural yang dipengaruhi oleh Antonio Gramsci tentang hegemoni. Hegemoni melibatkan proses penciptaan makna dimana representasi dan praktik dominan-otoritatif diproduksi dan dipelihara.
II. PEMBAHASAN
1. Budaya sifon sebagai kekuasaan kelas
Praktek kebudayaan merupakan wujud dinamis suatu kelompok social tertentu yang mana kebudayaan tidak hanya menciptakan jaringan makna namun juga memperangkap anggotanya dalam pemaknaan yang diciptakan (Geertz, The Interpretation of Culture,1974). Dasar konseptual ini yang mungkin memperangkap kelompok masyarakat dawan atau biasa juga dikenal dengan sebutan suku Atoin Meto yang tinggal di Kabupaten TTS (Timor Tengah Selatan), TTU (Timor Tengah Utara) dan Kabupaten Belu provinsi NTT, sehingga masih melangsungkan sunat sifon. Sunat sifon merupakan sunat yang dilakukan laki-laki dewasa yang telah menikah dan memiliki anak dengan tujuan untuk membersihkan diri dari pernyakit, bala dosa dan membangkitkan kembali keperkasaannya.
Sunat sifon biasanya dilaksanakan pada musim panen. Seseorang yang hendak melakukan sunat sifon harus menyerahkan mahar (sejumlah uang, pernak-pernik, dan ayam) kepada dukun sunat atau ahelet. Selanjutnya, orang yang hendak melakukan sunat sifon akan diajak ke sungai untuk melakukan pengakuan bahwa dalam kesehariannya dia sudah terbiasa melakukan hubungan badan dengan wanita. Sunat sifon tidak akan dilaksanakan pada pria yang belum pernah melakukan hubungan seksual. Proses sunat sifon dilakukan dengan menggunakan sembilu atau pisau. Setelah proses penyunatan dilaksanakan, maka dibawah kembali ke sungai untuk dilakukan pembersihan.
Permasalahannya kemudian pada tahapan penyembuhannya, yakni dengan cara harus berhubungan seks dengan perempuan lain yang bukan istri dan anggota keluarganya. Perempuan yang dijadikan sarana penyembuhan sunat sifon disediakan oleh dukun sunat sendiri dengan tanpa disadari oleh perempuan tersebut bahwasanya dirinya menjadi korban. Pengaruh konstruksi budaya dan peran penokohan ahelet membangun pemahaman bahwasanya mereka yang rela melayani laki-laki yang sedang melakukan sifon akan mendapatkan berkah dari para leluhurnya karena telah bersedia menjadi silih bala dan penebus dosa orang lain. Perempuan korban sifon tidak mempertimbangkan dampak dari kesediaannya yang mana dia akan mengalami penderitaan fisik secara terus menerus.
Sunat sifon menjadi tradisi dalam kelompok masyarakat Atoin Meto. Laki-laki yang tidak melakukan sunat sifon akan menjadi bahan ejekan dan sindiran masyarakat dalam upacara adat. Sindiran dalam nyanyian pantun akan ditujukan pada seseorang yang tidak melakukan sifon. Tidak hanya nyanyian pantun, ejekan dalam bentuk prilaku simbolik juga ditujukan, misalnya dengan mempersilahkan seorang laki-laki duduk diatas kulit kambing jika dia belum sunat sifon, dengan anggapan bahwa laki-laki yang belum sunat sifon, dia bau seperti kambing.
2. Politik Budaya Yang Bias Gender
Seringkali agama dan adat istiadat dijadikan sebagai legitimasi dalam memarginalkan peran dan fungsi perempuan. Perempuan dicitrakan dalam aturan adat untuk menerima peran pasifnya dan menerima dominasi laki-laki. Hal ini terjadi pada perempuan dawan (Atoin Meto) yang menjadi korban sunat sifon. Bagaimana perempuan secara adat dianggap mulia dan akan menerima berkah jika bersedia menjadi sarana penyembuh sunat sifon. Dalam konteks ini, budaya bersifat politis karena dia mengekspresikan relasi kekuasaan kelas dengan cara menaturalisasi tatanan social sebagai suatu fakta niscaya, sehingga mengaburkan relasi eksploitasi didalamnya (Barker,2000:53). Jadi budaya sifon pada wilayah suku Atoin Meto bersifat ideologis. Yang dimaksud dengan ideologi dalam hal ini adalah bahwasanya legitimasi adat yang menyatakan membuang panas bagi laki-laki dan hanya perempuan yang dapat mendinginkan hanyalah pemahaman spesifik disuatu ruang dan waktu tertentu (bersifat historis) untuk melanggengkan kekuasaan (ide-ide kelas berkuasa-ahelet dan pasien sifon- yang notabene mereka adalah laki-laki). Menjadi sangat fatal ketika ide-ide tersebut dipahami sebagai kebenaran universal.
Meyakini tradisi dan kebiasaan sebagaimana yang terjadi pada perempuan dawan merupakan salah satu sumber proses marginalisasi yang mengakibatkan pemiskinan pada perempuan. Marginalisasi pada perempuan tidak saja terjadi pada ruang publik, akan tetapi pada ruang domestik juga seperti rumah tangga, dan masyarakat atau kultur. Marginalisasi sering kali diperkuat oleh adat istiadat dan tafsir agama (Fakih,2001:14-15). Sehingga perempuan yang masih kuat memegang teguh adat istiadat dan tinggal dilingkungan masyarakat adat tidak jarang mengalami tingkat marginalisasi lebih besar. Karena, perempuan tersebut sebagian besar adalah masyarakat miskin yang tinggal didaerah terpencil dan di nomor duakan dalam tingkat mengakses sumber daya alam.
3. Upaya Penanggulangan
Keadaan seperti ini yang menjadi keprihatinan dan menuntut kepedulian kita untuk mewujudkan relasi yang sehat antara laki-laki dan perempuan. Relasi yang adil untuk menciptakan sikap dan perilaku yang memiliki kesetaraan dalam relasi gender dan tanpa kekerasan serta kesadaran dan kemauan baik dari perempuan dan laki-laki untuk berjuang bersama demi adanya pengakuan akan hak-hak perempuan melalui berbagai upaya dalam semua aspek kehidupan. Mewujudkan pendampingan dan pelayanan perempuan pada level pemahaman akan meningkatkan pengetahuan, wawasan, dan kesadaran baik laki-laki maupun perempuan tentang isu hak asasi manusia, kesehatan reproduksi, kekerasan terhadap perempuan dan gender serta memberikan pengetahuan akan cara mengakses berbagai informasi program pembangunan dan posisi strategis baik dalam lembaga formal maupun non formal.
Upaya pendampingan dengan cara membangun pemahaman perempuan (capacity building) akan menjadikan perempuan lebih kritis dalam menganalisa setiap persoalan meskipun itu terkait dengan adat istiadat didaerahnya bahkan agama sekalipun. Oleh karena itu, untuk memperjuangkan pembebasan perempuan dawan sangatlah penting untuk mencari solusi atau upaya yang dapat mengatasi ketidakadilan gender pada perempuan dawan, antara lain melalui adat, pemerintah maupun institusi agama.
a) Melalui Jalur Budaya:adat
Upaya yang hendaknya diperjuangkan oleh lembaga adat untuk membebaskan perempuan dawan dari keterkungkungan budaya, antara lain: Pertama, budaya sifon hendaknya ditinjau kembali dari beberapa sisi yang mungkin diakibatkannya, baik positif maupun negatifnya. Memutuskan dan harus berani menetapkan konsekunsi hukuman adat jika memang efek negatif yang ditimbulkan jauh lebih besar daripada efek positifnya. Budaya sifon harus dikembalikan pada makna aslinya yakni sebagai penebus dosa dan tolak bala, bukan keperkasaan, sehingga harus menjadikan perempuan sebagai sarana penyembuhan. Kedua, Kaum perempuan hendaknya berani bekerjasama dengan para pemuka adat untuk merekonstruksi kembali adatnya, artinya mengembalikan budaya sifon pada nilai budaya yang sesungguhnya yang tidak melibatkan perempuan sebagai objek seksual, namun berusaha menumbuhkan pemahaman akan kesetaraan dan saling menghargai diantara laki-laki dan perempuan. Dengan menjunjung tinggi kesetaraan, maka upaya penyembuhan sifon dapat dikembalikan pada pola penyembuhan secara alamiah yakni dengan menggunakan ramuan alam sebagaimana mestinya. Perempuan dawan harus diberi tempat dalam struktur adat agar saran dan keluhan mereka di dengar dan dipertimbangkan. Ketiga, Para tua adat hendaknya mengambil peran tegas atas fungsinya, yang tidak hanya sebagai pemimpin masyarakat adat namun juga orang tua yang selalu siap membantu semua anggota sukunya tanpa memandang jenis kelamin dan kepentingan pihak tertentu, sehingga menghindari dari tindakan mendeskriditkan perempuan, dan menghilangkan percaya diri perempuan dawan. Keempat, Adat dawan hendaknya direkonstruktif terkait simbol bahasa yang bermakna perempuan, seperti Ni Ainaf (tiang induk, mama), fe/fel (istri),uem tuaf (tuan rumah, pengatur rumah tangga), feot Nai (ratu), Hausufa/fula (bunga) yakni pada esensinya perempuan juga menjadi makhluk yang memiliki bergaining position dalam bahasa adat. Kelima, adat harus menanamkan budaya dalam diri setiap anggota sukunya mengenai sikap saling menghargai dan menghormati siapapun tanpa memandang jenis kelamin.
b) Melalui jalur pemerintah daerah
Upaya yang hendaknya dilakukan pemerintah untuk membebaskan perempuan dawan dari sempitnya memaknai adat dan ketertindasannya karena ada bertujuan agar perempuan dawan mampu membangun kesadarannya sendiri dan mengadvokasi dirinya. Upaya tersebut antara lain: Pertama, Pemerintah harus bekerjasama dengan tokoh adat, stakeholder, LSM dan gereja (sebagai tempat ibadah dari mayoritas agama yang dianut suku dawan) dalam upaya pemberdayaan perempuan dawan melalui pelatihan-pelatihan baik yang membangun skillnya maupun kognitifnya. Pemerintah dalam hal ini bagian pemberdayaan perempuan yang ada di setiap kabupaten harus memiliki program-program yang aktif melibatkan perempuan. Hal ini dikarenakan perempuan dawan cenderung tidak percaya diri akibat pola budaya mendidik mereka. Kedua, pemerintah harus memberikan kesempatan yang sama untuk perempuan memperoleh pendidikan baik formal, nonformal, dan informal. Ketiga, pemerintah memberikan penyuluhan dan pelayanan kesehatan bagi perempuan maupun laki-laki, agar mereka dapat memilih dan menentukan sikap bahwasanya budaya sifon masih sesuai ataukah tidak diera saat ini jika dilihat dari dampak yang ditimbulkan pada perempuan yang menjadi korban sifon, maupun istri dari laki-laki yang melakukan sifon. Keempat, pemerintah perlu mengalokasikan dana secukupnya untuk pemberdayaan perempuan dawan, khususnya mereka yang telah memiliki kelompok-kelompok kecil di daerah terpencil. Meskipun kelompok kecil tersebut kelompok ibadah para ibu maupun bapak. Karena pemahaman akan kesetaraan harus dibangun tidak hanya pada perempuan, namun juga pemahaman laki-laki akan hak-hak perempuan. Kelima, perlunya pemerintah melakukan kombinasi antara studi, investigasi, analisis sosial pendidikan serta aksi pada budaya sifon. Ini bertujuan untuk memastikan signifikansi atau tidaknya budaya sifon baik untuk penebusan dosa dan tolak bala sekalipun.
c) Melalui jalur agama
Gereja diutus untuk membebaskan yang tertindas dan memberi harapan bagi yang putus asa, demikian pula agama islam juga mengajarkan dalam al qur’an pada dasarnya kedudukan laki-laki dan perempuan sama. Keduanya diciptakan dari satu nafs (living entity), dimana yang satu tidak memiliki keunggulan terhadap yang lain.
Agama Kristen sebagai agama mayoritas di NTT, seharusnya turut ambil andil dalam upaya membangun kesadaran kristis perempuan dawan, misalnya dengan: Pertama, membuat program untuk kelompok-kelompok ibadah dengan kegiatan yang tidak hanya seputar agama, namun proses pengembangan diri baik industry buat rumah tangga maupun pelatihan-pelatihan yang membangun kesadaran kristis atas peran perempuan. Kedua, melibatkan perempuan secara aktif dalam kegiatan-kegiatan keagamaan tidak sebgai pekerja tapi juga konseptor. Ketiga, gereja seharusnya sering mengambil tema kegiatan tentang pemberdayaan dalam kaitannya dengan aturan adat dan struktur adat, agar tokoh adat menyadari esensi perannya. Keempat, mengkaji kembali tafsir agama untuk mengakhiri bias gender dan dominasi dalam penafsirannya.
III. PENUTUP
Dari paparan di atas akan dirumuskan simpulan sebagai berikut:
1. Adat sifon yang dilakukan masyarakat adat dawan di daerah Kabupaten TTS,TTU, dan Belu memang bias gender. Perempuan menjadi korban kuasa laki-laki yang dilegitimasi oleh adat. Adat menjadi alat kekuasaan untuk menamai perilaku laki-laki, selain itu adat juga digunakan sebagai alat representasi pendapat laki-laki yang dianggap dapat membenarkan kuasa laki-laki atas perempuan. Laki-laki (ahelet, tokoh adat dan pasien sifon) tidak mempertimbangkan dampak kesehatan reproduksi perempuan. Sumber daya kultural seolah-olah hanya menjadi milik laki-laki. Laki-laki yang dapat dengan leluasa membentuk dan memiliki akses kedalam.
2. Adanya bias gender dalam adat sifon, secara teoritis memberi peluang subur kekuasaan laki-laki dan memberi dasar yang kuat pada politik kultural. Tapi untuk tataran praktek belum memiliki data banyak terkait siapa saja yang pernah terlibat baik sebagai pelaku sifon ataupun korban sifon, pun juga siapa yang akan melakukan sifon pada musim panen mendatang. Hal ini dikarenakan sunat sifon tidak sampai muncul ke wilayah publik, tersimpan rapi dalam lingkungan domestik. Ini harus diteliti dengan melibatkan pihak struktur adat, pemerintah sebagai penyuluh, dan pemahaman pada perempuan atas dampak lebih besar yang akan ditimbulkan.
3. Upaya untuk menanggulangi ketidakadilan gender dalam kehidupan masyarakat adat dawan adalah dengan perubahan prilaku; baik dalam keluarga, lingkungan sosial dan lingkungan pemerintahan untuk lebih memberdayakan perempuan, sehingga membantu para perempuan lebih mandiri baik dari segi moral psikologis, ekonomi, pendidikan, politik, dan merekonstruktif budaya agar menghasilkan budaya baru yang sensitif gender. Karena hanya dengan kemandirian perempuan dalam semua aspek kehidupan akan tercapai keadilan gender.